MASALAH ETIK BAYI TABUNG
MUTU DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Disusun Oleh :
1.
Fitriana Sindi 16140012
2.
Maya Sari 16140025
3.
Angelia Boru Damanik 16140026
4.
Dwi Ayu Pamungkas 16140065
Kelas : B.13.1
Kelompok : 3 ( Tiga )
UNIVERSITAS RESPATI
YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI D-IV
BIDAN PENDIDIK
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayahNya yang telah
memberikan kekuatan serta kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini adalah “Masalah Etik Bayi Tabung”
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa ini masih banyak kekurangan baik
segi isi maupun bahasannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bagi pasutri yang sulit mendapatkan anak, maka teknik Fertilisasi
in vitro (FIV) atau Bayi Tabung telah memberikan harapan yang sangat besar
untuk mendapatkan keturunan. Bayi pertama yang lahir menggunakan teknik Bayi
Tabung pertama sekali dilaporkan oleh Steptoe dan Edward pada tahun 1976 dan
1978. Sejak itulah, akhirnya teknik Bayi Tabung berkembang dengan sangat pesat
dan jutaan kehamilan telah berhasil diperoleh. Baik di negara-negara maju
maupun di negara-negara yang sedang berkembang banyak ditemukan pusat - pusat
pelayanan Bayi Tabung. Agar dapat memperoleh angkakehamilan yang tinggi, maka
berbagai teknik barudiciptakan. Tadinya, penemuan teknik-teknik tersebut
bertujuan untuk mempermudah, atau untuk memberi harapan kepada pasutri untuk
mendapatkan keturunan. Namun pada kenyataannya, justru penemuan teknik-teknik
yang canggih tersebut telah menimbulkan perdebatan yang luas di kalangan para
klinisi, sosiolog, psikolog, ahli hukum dan para agamawan, karena teknik-teknik
tersebut yang tadinya untuk membantu pasutri yang sulit mendapatkan anak, namun
sekarang justru banyak digunakan untuk penelitian yang tidak ada kaitannya
dengan kepentingan medis.
Kebanyakan ahli sepakat, bahwa teknik Bayi Tabung pada prinsipnya
hanya digunakan bagi pasutri yang dengan cara alami, atau dengan kata lain,
terdapat beberapa keadaan yang tidak memungkinkanpasutri tersebut mendapatkan
anak secara alami, seperti kelainan pada tuba, gangguan ovulasi, faktor
infertilitas suami, endometriosis berat dan unexplained infertility. Akan
tetapi, teknik Bayi Tabung dewasa ini mulai digunakan pada pasutri yang ingin
anak, tanpa perduli apa penyebab pasutri tersebut tidak bisa hamil. Padahal,
hingga kini angka keberhasilan kehamilan dengan teknik Bayi Tabung belumlah
memuaskan, sehingga rasanya tidaklah tepat menganjurkan semua pasutri yang
sulit mendapatkan anak untuk mengikuti program Bayi Tabung. Biaya yang harus dikeluarkan
untuk mengikuti satu siklus program Bayi Tabung sangatlah mahal, dan biaya
tersebut seluruhnya harus ditanggung oleh pasien, tanpa sedikitpun mendapat
bantuan dari sistem pelayanan kesehatan publik yang ada.
Berbagai teknik telah dihasilkan yang bertujuan untuk meningkatkan
angka kehamilan dari program Bayi Tabung. Bahkan telah berhasil juga dihasilkan
sebuah teknik yang secara dini telah dapat diketahui, apakah embrio yang akan
dipindahkan ke rahim seorang ibu menderita kelainan genetik atau tidak. Teknik
tersebut dikenal dengan julukan preimplantation genetic diagnosis/screening
(PGD/PGS). Namun teknik ini yang tadinya bertujuan baik agar seorang ibu
benar-benar dapat mendapatkan anak yang tidak cacat secara genetik, telah
banyak disalahgunakan dan telah menimbulkan silang pendapat di kalangan para
ahli. Teknik-teknik lain yang juga telah digunakan untuk meningkatkan
fertilisasi dan kehamilan antara lain adalah mikromanipulasi oosit,
intracytoplasmic sperm injection (ICSI), atau kombinasi ICSI dengan
micro-hole-drilling by laser (LA-ICSI) dari zona pelucida, transfer sitoplasma
dan prosedur transfer nukleus.
Cara lain yang digunakan untuk meningkatkan angka keberhasilan
kehamilan adalah dengan cara memperoleh embrio sebanyak mungkin. Sebagian dari
embrio tersebut dimasukkan ke dalam rahim dan sebagian lagi dibekukan. Tujuan
pembekuan embrio sebenarnya adalah baik, yaitu agar embrio tersebut dapat
digunakan kembali buat pasien yang sama di kemudian hari. Akan tetapi, bila
tidak digunakan lagi, lalu akan dilakukan apa, dibuang atau untuk riset
kedokteran ? atau embrio tersebut dibiarkan rusak ? Di sini mulai timbul
masalah, apakah itu masalah etik, moral ataupun masalah hukum. Bagi para
praktisi Bayi Tabung, yang terpenting mentransfer sebanyak mungkin embrio demi
suatu keberhasilan dan mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar mungkin. Padahal
kehamilan multipel merupakan salah satu komplikasi yang berat bagi ibu dan bayi
dari dampak pemberian obat-obat pemicu ovulasi tersebut, dan tentu dengan
sendirinya akan meningkatkan angka morbi-ditas dan mortalitas.
Apakah teknik-teknik tersebut di atas telah berhasil meningkatkan
angka keberhasilan program Bayi Tabung ? Ternyata juga tidak, bahkan teknik -
teknik tersebut justeru telah membebani pasutri baik secara fisik, ekonomi dan
emosional. Lebih dari 50% mereka yang mengikuti program Bayi Tabung tidak
pernah hamil. Masalah emosi merupakan dilema yang sangat penting yang harus
diperhatikan, karena mereka telah mengeluarkan biaya yang cukup besar, tetapi
hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan. Sebaiknya, kalangan praktisi Bayi
Tabung tidak hanya semata-mata memikirkan keberhasilan saja, namun juga harus
memikirkan
dampak psikologik dan sosial dari program Bayi Tabung tersebut, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Sosiolog, psikolog, bioetik dan ahli hukum memiliki cara pandang mereka sendiri - sendiri terhadap apa yang dilakukan oleh para praktisi Bayi Tabung terhadap pasutri.
dampak psikologik dan sosial dari program Bayi Tabung tersebut, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Sosiolog, psikolog, bioetik dan ahli hukum memiliki cara pandang mereka sendiri - sendiri terhadap apa yang dilakukan oleh para praktisi Bayi Tabung terhadap pasutri.
Rumusan Masalah
1.
Apa peraturan Negara yang bersangkutan
dengan dilema etik dalam perihal bayi tabung?
2.
Apa saja dilema etik yang terjadi dalam
bayi tabung?
3.
Bagaimana peran bidan dalam mengahadapi
dilema etik tentang bayi tabung?
Tujuan dan Manfaat
Tujuan:
- Makalah
ini ditulis untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Mutu Layanan Kebidanan.
- Memberikan
gambaran tentang dilema etik dengan permasalahan bayi tabung.
Manfaat:
1.
Manfaat dari makalah ini dibuat untuk
menambah hasanah keilmuan dan wacana tentang dilemma etik dalam bayi tabung.
2.
Untuk mengetahui hubungan seputar bayi
tabung dalam kebidanan.
BAB II
PEMBAHASAN
Etik dan Hukum
Reproduksi Buatan di Indonesia
Di Indonesia hukum dan perundangan yang mengatur tentang teknik reproduksi buatan di atur di dalam:
1.
Undang-undang Kesehatan No.
23 tahun 1992, pasal 16, yang menyebutkan antara lain:
1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami-isteri mendapatkan keturunan.
2)
Upaya kehamilan di luar cara
alami sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami-isteri yang sah dengan ketentuan:
a.
Hasil pembuahan sperma dan
ovum dari suami-isteri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari
mana ovum berasal.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
c.
Pada sarana kesehatan tertentu.
3)
Ketentuan mengenai
persyaratan penyelengaraan kehamilan di luar cara alami
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
2.
Keputusan Menteri Kesehatan
No. 72/ Menkes/ Per/ II/1999 tentang Penyelengaraan Teknologi Reproduksi
Buatan, yang berisikan tentang: Ketentuan Umum, Perizinan, Pembinaan
dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut di atas, dibuat
Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit
Khusus dan Swasta, Departemen Kesehatan RI16 yang menyatakan bahwa:
1)
Pelayanan Teknologi Buatan
hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami-isteri yang
bersangkutan.
2)
Pelayanan Reproduksi Buatan
merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga
kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan
infertilitas secara keseluruhan.
3)
Embrio yang dapat
dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak lebih dari tiga;
boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan:
a)
rumah sakit memiliki 3
tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
b)
pasangan suami-isteri
sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi
reproduksi yang gagal, atau
c)
isteri berumur lebih dari 35
tahun.
4)
Dilarang melakukan surogasi
dalam bentuk apapun.
5)
Dilarang melakukan jual beli
embrio, ova dan spermatozoa.
6)
Dilarang menghasilkan embrio
manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap
embrio manusia hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan
dengan sangat jelas.
7)
Dilarang melakukan
penelitian terhadap atau dengan menggunakan embrio manusia yang berumur
lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi.
8)
Sel telur manusia yang
dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in-vitro lebih dari
14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/
simpan beku).
9)
Dilarang melakukan
penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan embrio,
ova dan atau spermatozoa manusia tanpa izin khusus dari siapa sel telur
atau spermatozoa itu diperoleh.
10) Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila
fertilisasi trans-spesies itu diakui sebagai cara untuk mengatasi atau
mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat
fertilisasi trans-spesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2
sel.
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit di dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia Namun di dalam addendum 1, di dalam buku tersebut di atas, tentang penjelasan khusus untuk beberapa pasal dari revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002, dijelaskan tentang klonasi/cloning, sebagai adopsi dari hasil Keputusan Muktamar XXIII IDI 1997, tentang Klonasi (Cloning), yang pada hakekatnya: menolak dilakukan klonasi pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, dstnya; menghimbau para ilmuwan khususnya kedokteran, agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi pada: 1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui al: pembuatan zat anti atau antigen monoclonal, yang dapat digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnostik maupun aspek pengobatan; 2. pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri.
Beberapa dilema dalam
program Bayi Tabung
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, salah satu cara yang gampang dilakukan untuk
mendapatkan angka keberhasilan kehamilan yang tinggi adalah mentransfer embrio
lebih dari satu. Dengan satu embrio, angka kehamilan cuma 17%, dengan dua
embrio angka kehamilan menjadi 44%, namun a dari kehamilan tersebut merupakan
kehamilan ganda dengan 1,1% triplet, dan mentransfer lebih dari tiga embrio
meningkatkan kejadian kehamilan ganda sebanyak 43,7%, dan kehamilan triplet
hampir 65%. Pada tahun 1999, data yang dikumpulkan di 22 negara Europa dari
258.460 siklus IVF, diperoleh 26,3% pasien mendapatkan kehamilan ganda, seperti
kembar dua, tiga dan empat. Bagi negara - negara maju, mungkin tidak masalah
merawat bayi - bayi kecil, namun bagi negara-negara berkembang masih merupakan
dilema merawat bayi-bayi kecil, di mana angka mortalitas masih sangat tinggi.
Oleh
karena itu perlu kiranya dipikirkan, apakah memang harus mentransfer embrio lebih dari satu, dan kalau memang ya, maka dapat saja kelak berurusan dengan masalah hukum dan etik yang serius.
karena itu perlu kiranya dipikirkan, apakah memang harus mentransfer embrio lebih dari satu, dan kalau memang ya, maka dapat saja kelak berurusan dengan masalah hukum dan etik yang serius.
Andaikata, embrio yang diperoleh jumlahnya banyak, lalu timbul
pertanyaan, mau diapakan sisanya ? Jawabannya tentu sederhana sekali, yaitu
dibekukan saja. Inilah jawaban yang paling sering disampaikan oleh mereka yang
menamakan dirinya sebagai ahli Bayi Tabung, atau bagi peneliti yang ingin
menggunakan embrio untuk keperluan riset. Ternyata jawabannya tidak sesederhana
itu bagi ahli hukum, bagi agamawan, maupun bagi sosiolog dan psikolog. Lebih
dari separuh embrio yang dibekukan menjadi rusak, dan bila tidak terjadi
pembelahan dalam beberapa jam kemudian, maka embrio tersebut dikatakan
"clinically dead"
embrio. Inilah yang menjadi alasan bagi peneliti untuk melakuan riset stem cells dari embrio. Penggunaan embrio untuk stem cells sama artinya dengan "membunuh" suatu kehidupan, meskipun penelitian stem cells bertujuan untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik. Namun para peneliti beralasan, bukan mereka yang bersalah merusak/membunuh embrio-embrio tersebut, tetapi adalah mereka yang berpraktek sebagai ahli Bayi Tabung, yang sebenarnya "pembunuh". Perlu diketahui bahwa pengambilan "inner cell mass" dari embrio juga termasuk kategori merusak embrio, paling sedikit itulah yang masih dianut hingga kini. Jadi, menyimpan embrio tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah teknik yang digunakan yang dapat merusak, menggunakannya untuk riset - riset tertentu, atau membuangnya. Dalam seminar tentang teknologi kloning dan pandangan agama islam di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Cendekiawan Muslim M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ilmu dan penelitian haruslah berlapiskan nilai-nilai spiritual, dan tidak dalam posisi saling bertentangan, tetapi justru dapat saling mendukung.
embrio. Inilah yang menjadi alasan bagi peneliti untuk melakuan riset stem cells dari embrio. Penggunaan embrio untuk stem cells sama artinya dengan "membunuh" suatu kehidupan, meskipun penelitian stem cells bertujuan untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik. Namun para peneliti beralasan, bukan mereka yang bersalah merusak/membunuh embrio-embrio tersebut, tetapi adalah mereka yang berpraktek sebagai ahli Bayi Tabung, yang sebenarnya "pembunuh". Perlu diketahui bahwa pengambilan "inner cell mass" dari embrio juga termasuk kategori merusak embrio, paling sedikit itulah yang masih dianut hingga kini. Jadi, menyimpan embrio tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah teknik yang digunakan yang dapat merusak, menggunakannya untuk riset - riset tertentu, atau membuangnya. Dalam seminar tentang teknologi kloning dan pandangan agama islam di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Cendekiawan Muslim M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ilmu dan penelitian haruslah berlapiskan nilai-nilai spiritual, dan tidak dalam posisi saling bertentangan, tetapi justru dapat saling mendukung.
Bagi pasutri, atau siapapun, mendapatkan anak tanpa cacat fisik
maupun mental sangatlah penting. Bagi pasutri yang ingin mendapatkan anak tanpa
cacat genetik tidak masalah lagi, karena salah satu teknik untuk mengetahui
apakah embrio yang akan ditransfer ke dalam rahim memiliki kelainan genetik
atau tidak telah dapat diketahui sejak awal dengan menggunakan teknik yang
dinamakan preimplantation genetic diagnosis/screening (PGD/PGS). Tentu dengan
sendirinya hanya embrio yang tidak memiliki kelainan genetik saja yang akan
diberikan kesempatan untuk hidup, sedangkan embrio yang memiliki kelainan
genetik tidak diberikan kesempatan untuk hidup, atau barangkali dimusnahkan,
atau diberikan kepada peneliti-peneliti untuk mencari obat-obat baru buat
mengatasi kelainan genetik yang ditemukan. Bagi mereka yang ingin menolong
pasutri mendapatkan anak dengan teknik Bayi Tabung dengan menggunakan cara
PGD/PGS mungkin bukan merupakan masalah, namun bagi kelompok masyarakat yang
lain teknik tersebut dianggap kurang tepat. Mereka berpendapat, PGD/PGS secara
selektif sama saja dengan mengakhiri kehidupan manusia pada saat awal sekali.
Kalangan ahli masih belum banyak yang sepakat mengenai kapan sebenarnya
kehidupan dimulai. Sebagian agamawan berpendapat bahwa kehidupan telah dimulai
begitu gamet perempuan dan laki bertemu (Zygot), sehingga sejak itu pula
manusia sudah harus memiliki respek, karena sejak itu pula legal aspeknya telah
berlaku. Jadi tentu dengan sendirinya embrio - embrio tersebut tidak boleh
dirusak. Agama-agama tertentu, seperti islam misalnya, tetap memberikan
kesempatan hidup kepada manusia, meskipun manusia tersebut sakit atau cacat.
Oleh karena itu, islam melarang mengakhiri kehidupan manusia sejak dari awal
kehidupan dalam bentuk dan alasan apapun. Walupun demikian, PGD/PGS boleh
digunakan di
luar penelitian ilmiah dengan lingkup terbatas dan memang dianggap perlu sekali dan selama tidak membahayakan atau merusak embrio. Di pihak lain, karena alasan - alasan medis atau teknik tertentu yang tidak dapat dielakkan untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar, maka dengan memperhatikan aturan-aturan yang berlaku, maka sisa embrio seharusnya boleh digunakan untuk riset stem cells, daripada embrio - embrio tersebut dimusnahkan, namun tidak dibenarkan melakukan intervensi jenis apapun terhadap embrio yang sudah berada dalam rahim, kecuali untuk kepentingan
medis. Sebagian ahli berpendapat bahwa tidak boleh melakukan riset terhadap embrio, karena embrio memiliki status moral yang tinggi. Kalaulah memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh agama, maka terlihat seolah-olah ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Menurut Umar Anggara Jenie, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Ketua Komisi Bioetika Nasional, tidak bisa dikatakan adanya pertentangan antara sains dan agama, dan agama merupakan tuntunan Tuhan
dan sains digali dari ciptaan Tuhan. Memang kalau ada penelitian-penilitian yang sangat baru pada mulanya pasti akan menimbulkan banyak pertentangan, dan hal ini dapat terjadi karena kesalahan interpretasi agama, atau interpretasi yang salah ter-
jadi karena hasil-hasil penelitian tersebut banyak yang keliru. Tentu pada awal penelitian dicetuskan, umumnya para peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk kebaikan manusia, dan di sinilah tugas agamawan untuk menginterpretasi kembali penelitian yang menurut peneliti demi "kebaikan umat manusia", karena mana tahu penelitian tersebut justru berbahaya buat manusia. Dalam melakukan penelitian, para peneliti harus juga mengakui keberadaan Tuhan. Agama pada prinsipnya tidak berniat untuk menghalangi atau menghambat penelitian yang bermanfaat buat umat manusia, namun Agama memberikan aturan main yang jelas agar tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari buat umat manusia itu sendiri.
Di beberapa Negara di Eropa, tindakan PGD/PGS dibenarkan, namun di beberapa Negara Eropa yang lain masih menjadi bahan perdebatan, bahkan ada yang melarang sama sekali. Mereka yang setuju berpendapat, kenapa tindakan prenatal diagnosis
(PND) berikut terminasi kehamilan dibenarkan secara hukum dan digunakan secara luas. Padahal PGD/PGS dilakukan pada tahap awal sekali, sedangkan PND dilakukan pada tahap lanjut dari embrio (fetus). Mereka yang tidak setuju terhadap PGD/PGS berpendapat, bahwa teknik tersebut dapat disalahgunakan untuk menseleksi gender. Hal ini sudah mulai terlihat banyak dilakukan di negara - negara tertentu, misalnya hanya untuk mendapatkan anak laki saja. Tentu hal seperti ini sangat berbahaya, karena akan dapat merubah tatanan sosial yang sangat dramatik. Dalam pandangan agama islam, hanya Tuhanlah yang berhak menentukan jenis kelamin.
Biaya untuk mendapatkan anak melalui program Bayi Tabung tidaklah murah, sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat memanfaatkan teknik tersebut. Kalaulah memang angka keberhasilannya tinggi, maka wajarlah kalau pasutri harus mengeluarkan biaya yang mahal. Kalaulah dianggap bahwa, memiliki anak merupakan hak seseorang, maka sudah waktunya teknik Bayi Tabung dimasukkan ke
dalam sistem pelayanan kesehatan publik. Pihak Asuransi Kesehatan menganggap bahwa memiliki anak dengan menggunakan teknik Bayi Tabung merupakan pelayanan yang luksus, sehingga tidak perlu ikut ditanggung. Ada juga yang berpendapat, bahwa infertilitas bukanlah penyakit. Namun kalau infertilitas menyebabkan depresi kronik, apakah itu bukan penyakit ? Kalaulah tindakan Bayi Tabung yang dilakukan tanpa indikasi yang jelas, mungkin boleh saja sistem Asuransi tidak perlu ikut menanggung biayanya. Namun kalau pasien telah mencoba semua cara, tetapi belum juga mendapatkan anak, dan teknik Bayi Tabung merupakan jalan terakhir satu - satunya untuk mendapatkan anak, maka tidak ada salahnya Asuransi Kesehatan ikut membantu. Kalaupun tidak, cara lain yang mungkin bisa ditempuh
adalah, pasien membayar komponen-komponen tertentu dari pengobatan dan asuransi membayar komponen yang lain.
luar penelitian ilmiah dengan lingkup terbatas dan memang dianggap perlu sekali dan selama tidak membahayakan atau merusak embrio. Di pihak lain, karena alasan - alasan medis atau teknik tertentu yang tidak dapat dielakkan untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar, maka dengan memperhatikan aturan-aturan yang berlaku, maka sisa embrio seharusnya boleh digunakan untuk riset stem cells, daripada embrio - embrio tersebut dimusnahkan, namun tidak dibenarkan melakukan intervensi jenis apapun terhadap embrio yang sudah berada dalam rahim, kecuali untuk kepentingan
medis. Sebagian ahli berpendapat bahwa tidak boleh melakukan riset terhadap embrio, karena embrio memiliki status moral yang tinggi. Kalaulah memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh agama, maka terlihat seolah-olah ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Menurut Umar Anggara Jenie, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Ketua Komisi Bioetika Nasional, tidak bisa dikatakan adanya pertentangan antara sains dan agama, dan agama merupakan tuntunan Tuhan
dan sains digali dari ciptaan Tuhan. Memang kalau ada penelitian-penilitian yang sangat baru pada mulanya pasti akan menimbulkan banyak pertentangan, dan hal ini dapat terjadi karena kesalahan interpretasi agama, atau interpretasi yang salah ter-
jadi karena hasil-hasil penelitian tersebut banyak yang keliru. Tentu pada awal penelitian dicetuskan, umumnya para peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk kebaikan manusia, dan di sinilah tugas agamawan untuk menginterpretasi kembali penelitian yang menurut peneliti demi "kebaikan umat manusia", karena mana tahu penelitian tersebut justru berbahaya buat manusia. Dalam melakukan penelitian, para peneliti harus juga mengakui keberadaan Tuhan. Agama pada prinsipnya tidak berniat untuk menghalangi atau menghambat penelitian yang bermanfaat buat umat manusia, namun Agama memberikan aturan main yang jelas agar tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari buat umat manusia itu sendiri.
Di beberapa Negara di Eropa, tindakan PGD/PGS dibenarkan, namun di beberapa Negara Eropa yang lain masih menjadi bahan perdebatan, bahkan ada yang melarang sama sekali. Mereka yang setuju berpendapat, kenapa tindakan prenatal diagnosis
(PND) berikut terminasi kehamilan dibenarkan secara hukum dan digunakan secara luas. Padahal PGD/PGS dilakukan pada tahap awal sekali, sedangkan PND dilakukan pada tahap lanjut dari embrio (fetus). Mereka yang tidak setuju terhadap PGD/PGS berpendapat, bahwa teknik tersebut dapat disalahgunakan untuk menseleksi gender. Hal ini sudah mulai terlihat banyak dilakukan di negara - negara tertentu, misalnya hanya untuk mendapatkan anak laki saja. Tentu hal seperti ini sangat berbahaya, karena akan dapat merubah tatanan sosial yang sangat dramatik. Dalam pandangan agama islam, hanya Tuhanlah yang berhak menentukan jenis kelamin.
Biaya untuk mendapatkan anak melalui program Bayi Tabung tidaklah murah, sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat memanfaatkan teknik tersebut. Kalaulah memang angka keberhasilannya tinggi, maka wajarlah kalau pasutri harus mengeluarkan biaya yang mahal. Kalaulah dianggap bahwa, memiliki anak merupakan hak seseorang, maka sudah waktunya teknik Bayi Tabung dimasukkan ke
dalam sistem pelayanan kesehatan publik. Pihak Asuransi Kesehatan menganggap bahwa memiliki anak dengan menggunakan teknik Bayi Tabung merupakan pelayanan yang luksus, sehingga tidak perlu ikut ditanggung. Ada juga yang berpendapat, bahwa infertilitas bukanlah penyakit. Namun kalau infertilitas menyebabkan depresi kronik, apakah itu bukan penyakit ? Kalaulah tindakan Bayi Tabung yang dilakukan tanpa indikasi yang jelas, mungkin boleh saja sistem Asuransi tidak perlu ikut menanggung biayanya. Namun kalau pasien telah mencoba semua cara, tetapi belum juga mendapatkan anak, dan teknik Bayi Tabung merupakan jalan terakhir satu - satunya untuk mendapatkan anak, maka tidak ada salahnya Asuransi Kesehatan ikut membantu. Kalaupun tidak, cara lain yang mungkin bisa ditempuh
adalah, pasien membayar komponen-komponen tertentu dari pengobatan dan asuransi membayar komponen yang lain.
Kelihatannya bagi para praktisi Bayi Tabung yang terpenting adalah
bagaimana dapat meningkatkan angka kehamilan, dan bila telah berhasil, maka apa
yang terjadi pascatindakan Bayi Tabung tersebut terhadap ibu dan anak sudah
tidak menjadi penting lagi. Telah dilakukan pengumpulan data dari pusat-pusat
Bayi Tabung seluruh dunia terhadap dampak pascatindakan Bayi Tabung terhadap
ibu maupun bayi yang dilahirkan dari hasil teknik Bayi Tabung. Dari laporan
tersebut ternyata telah ditemukan adanya ibu-ibu yang terkena kanker payudara
dan kanker ovarium, yang kemungkinan besar diakibatkan oleh penggunaan
obat-obat pemicu ovulasi dosis tinggi, bahkan bayi yang dilahirkan juga banyak
yang terkena kanker (retinoblastoma), dan dampak negatif tersebut baru terlihat
beberapa tahun setelah tindakan. Tentu, hasil laporan ini telah menimbulkan
kontroversi yang luas, sehingga perlu kehati-hatian untuk dapat mengambil
kesimpulan yang pasti. Walaupun demikian, rasa keragu - raguan tetap saja ada
di kalangan ilmuwan, sehingga mulai dipikirkan cara lain yang relatif aman.
Dewasa ini mulai dikembangkan satu cara baru dalam rangka untuk dapat menurunkan dosis obat - obat pemicu ovulasi. Cara tersebut bukan lagi memakai teknik in vitro fertilisasi, namun memakai teknik yang dinamakan in vitro maturasi (IVM). Karena IVM masih merupakan teknik yang sangat baru sekali, maka laporan tentang keberhasilannya pun masih sedikit.
Dewasa ini mulai dikembangkan satu cara baru dalam rangka untuk dapat menurunkan dosis obat - obat pemicu ovulasi. Cara tersebut bukan lagi memakai teknik in vitro fertilisasi, namun memakai teknik yang dinamakan in vitro maturasi (IVM). Karena IVM masih merupakan teknik yang sangat baru sekali, maka laporan tentang keberhasilannya pun masih sedikit.
Para sosiolog maupun psikolog kurang begitu tertarik terhadap
komplikasi dari suatu tindakan, seperti halnya tindakan menggunakan teknik Bayi
Tabung dengan alat-alat yang canggih untuk mendapatkan anak. Masalah tersebut
biarlah menjadiurusan para praktisi Bayi Tabung dah ahli hukum, namun buat
mereka lebih tertarik dampak dari sukses atau tidak suksesnya tindakan
menggunakan teknik Bayi Tabung itu sendiri, dan terhadap masa depan dari bayi
yang dilahirkan. Apakah ada dampak dari penggunaan alat-alat canggih tersebut
di kemudian hari terhadap keturunan umat manusia ? Apapun dampak yang timbul
terhadap anak maupun keluarga yang dilahirkan dari teknik Bayi Tabung di masa
depan, bagi sosiolog/filosof, akan dapat dianggap sebagai tindakan yang salah.
Bagai-
mana sudut pandang dari segi bioetik maupun dari segi hukum ? Mereka tentu tidak ingin menghalangi ataupun menghambat kemajuan suatu ilmu pengetahuan. Bioetik hanya ingin agar para ilmuwan mau memperhatikan rambu-rambu yang berlaku secara universal, agar tidak terjadi manipulasi terhadap ilmu itu sendiri. Demikian juga terhadap teknik Bayi Tabung, bioetik dan hukum lebih tertarik terhadap dampak moral dan status hukum dari "bentuk suatu kehidupan" yang diperoleh dari suatu proses artifsial. Ahli hukum dan bioetik sangat kuatir dengan yang dinamakan "wisata reproduksi" dan menjadikan ovum sebagai bahan komoditas.
mana sudut pandang dari segi bioetik maupun dari segi hukum ? Mereka tentu tidak ingin menghalangi ataupun menghambat kemajuan suatu ilmu pengetahuan. Bioetik hanya ingin agar para ilmuwan mau memperhatikan rambu-rambu yang berlaku secara universal, agar tidak terjadi manipulasi terhadap ilmu itu sendiri. Demikian juga terhadap teknik Bayi Tabung, bioetik dan hukum lebih tertarik terhadap dampak moral dan status hukum dari "bentuk suatu kehidupan" yang diperoleh dari suatu proses artifsial. Ahli hukum dan bioetik sangat kuatir dengan yang dinamakan "wisata reproduksi" dan menjadikan ovum sebagai bahan komoditas.
Program Bayi Tabung beserta segala alat-alat canggih yang
digunakan tentu bertujuan baik buat manusia, namun agar tujuan baik tersebut
tidak menyimpang dari tujuannya, maka bagi para praktisi Bayi Tabung jangan
semata-mata memikirkan hanya keberhasilannya saja. Perlu juga dipikirkan dampak
terhadap bayi-bayi yang dilahirkan dari hasil teknik Bayi Tabung tersebut,
karena biar bagaimanapun mereka adalah generasi masa depan yang akan membentuk
generasi baru di kemudian hari. Juga perlu dipikirkan apakah memang perlu
sekali menghasilkan embrio yang banyak, dan kemudianapa yang harus dilakukan
terhadap sisa embrio yang tidak digunakan tersebut, dan bila hendak disimpan
atau dibekukan, berapa lama boleh dibekukan dan apakah embrio tersebut tidak
rusak akibat pembekuan. Belum lagi, apakah embrio-embrio tersebut boleh
digunakan buat penelitian atau tidak. Kerjasama dengan disiplin ilmu lain
sangatlah perlu. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda-beda,
sehingga perlu dibuat aturan yang sesuai buat negara tersebut, bila tidak
dibuat, maka niat yang tadinya baik, ditakutkan akan berubah menjadi malapetaka
buat umat manusia. Apalagi kalau sampai embrio-embrio akan digunakan sebagai
bahan penelitian tanpa memiliki aturan yang jelas. Keberadaan klinik Bayi
Tabung sudah seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, dan kalaulah satu klinik
dengan klinik lainnya aturannya berbeda - beda, maka apa yang dikatakan sebagai
"wisata reproduksi" akan terjadi. Pasti para pasutri akan mencari
klinik-klinik Bayi Tabung yang belum ada aturannya yang jelas. Yang paling
berbahaya dari "wisata reproduksi" adalah bahwa orang-orang akan
dengan sangat mudah sekali menjual telurnya buat orang lain, atau menjualnya
buat penelitian, dan kegiatan ini disinyalir telah banyak dilakukan di beberapa
negara. Bahkan di beberapa negara para ilmuwan telah mendapat izin untuk
mengimpor telur untuk keperluan riset.
Ilmuwan tidak boleh melupakan agama dan agama harus menjadi
referensi, dan bila hal tersebut tidak diperhatikan, maka embrio akan dengan
mudah dijadikan bahan komoditas, dan para ilmuwan akan membuat apa saja yang
mereka mau dan "wisata reproduksi" akan menjadi kenyataan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF
) sudah menjadi penolong untuk pasangan suami istri yang ingin mendapatkan
anak. Sudah banyak teknik canggih yang digunakan agar mendapatkan angka
kehamilan yang tinggi Namun ternyata, meskipun sudah menggunakan semua teknik,
angka kehamilan belum juga tercapai sesuai yang diharapkan. Bahkan teknik -
teknik tersebut menimbulkan dilema etik, moral, sosial, hukum, dan psikologi.
Di dalam melakukan penelitian pun juga harus memperhatikan apa yang diatur oleh
Tuhan. Agama sangat menjunjung teknologi, asalkan teknologi tersebut tidak
dipergunakan untuk keperluan lain, melainkan hanya untuk kepentingan umat
manusia.
Perlu diketahui bahwa teknik bayi tabung serta
rangkaian teknologi yang digunakan merupakan subjek yang sangat penting secara
etik dan memang tidak mudak untuk mendapatkan solusi yang final.
DAFTAR
PUSTAKA
Jurnal Etika dan Hukum
Teknik Reproduksi Buatan, F A Moeloek bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
Fertilisasi in vitro (
Bayi Tabung ) : Dilema kemajuan yang tak kunjung usai, A. Baziad Departtemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta
Komentar
Posting Komentar