Langsung ke konten utama

MASALAH ETIK BAYI TABUNG MUTU DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

MASALAH ETIK BAYI TABUNG
MUTU DALAM PELAYANAN KEBIDANAN




Disusun Oleh        :
1.        Fitriana Sindi                         16140012
2.        Maya Sari                               16140025
3.        Angelia Boru Damanik          16140026
4.        Dwi Ayu Pamungkas             16140065

Kelas                     : B.13.1
Kelompok             : 3 ( Tiga )





UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-IV BIDAN PENDIDIK
2017/2018


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayahNya yang telah memberikan kekuatan serta kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini adalah “Masalah Etik Bayi Tabung”
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa ini masih banyak kekurangan baik segi isi maupun bahasannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini.
























DAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang

Bagi pasutri yang sulit mendapatkan anak, maka teknik Fertilisasi in vitro (FIV) atau Bayi Tabung telah memberikan harapan yang sangat besar untuk mendapatkan keturunan. Bayi pertama yang lahir menggunakan teknik Bayi Tabung pertama sekali dilaporkan oleh Steptoe dan Edward pada tahun 1976 dan 1978. Sejak itulah, akhirnya teknik Bayi Tabung berkembang dengan sangat pesat dan jutaan kehamilan telah berhasil diperoleh. Baik di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang banyak ditemukan pusat - pusat pelayanan Bayi Tabung. Agar dapat memperoleh angkakehamilan yang tinggi, maka berbagai teknik barudiciptakan. Tadinya, penemuan teknik-teknik tersebut bertujuan untuk mempermudah, atau untuk memberi harapan kepada pasutri untuk mendapatkan keturunan. Namun pada kenyataannya, justru penemuan teknik-teknik yang canggih tersebut telah menimbulkan perdebatan yang luas di kalangan para klinisi, sosiolog, psikolog, ahli hukum dan para agamawan, karena teknik-teknik tersebut yang tadinya untuk membantu pasutri yang sulit mendapatkan anak, namun sekarang justru banyak digunakan untuk penelitian yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan medis.
Kebanyakan ahli sepakat, bahwa teknik Bayi Tabung pada prinsipnya hanya digunakan bagi pasutri yang dengan cara alami, atau dengan kata lain, terdapat beberapa keadaan yang tidak memungkinkanpasutri tersebut mendapatkan anak secara alami, seperti kelainan pada tuba, gangguan ovulasi, faktor infertilitas suami, endometriosis berat dan unexplained infertility. Akan tetapi, teknik Bayi Tabung dewasa ini mulai digunakan pada pasutri yang ingin anak, tanpa perduli apa penyebab pasutri tersebut tidak bisa hamil. Padahal, hingga kini angka keberhasilan kehamilan dengan teknik Bayi Tabung belumlah memuaskan, sehingga rasanya tidaklah tepat menganjurkan semua pasutri yang sulit mendapatkan anak untuk mengikuti program Bayi Tabung. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti satu siklus program Bayi Tabung sangatlah mahal, dan biaya tersebut seluruhnya harus ditanggung oleh pasien, tanpa sedikitpun mendapat bantuan dari sistem pelayanan kesehatan publik yang ada.
Berbagai teknik telah dihasilkan yang bertujuan untuk meningkatkan angka kehamilan dari program Bayi Tabung. Bahkan telah berhasil juga dihasilkan sebuah teknik yang secara dini telah dapat diketahui, apakah embrio yang akan dipindahkan ke rahim seorang ibu menderita kelainan genetik atau tidak. Teknik tersebut dikenal dengan julukan preimplantation genetic diagnosis/screening (PGD/PGS). Namun teknik ini yang tadinya bertujuan baik agar seorang ibu benar-benar dapat mendapatkan anak yang tidak cacat secara genetik, telah banyak disalahgunakan dan telah menimbulkan silang pendapat di kalangan para ahli. Teknik-teknik lain yang juga telah digunakan untuk meningkatkan fertilisasi dan kehamilan antara lain adalah mikromanipulasi oosit, intracytoplasmic sperm injection (ICSI), atau kombinasi ICSI dengan micro-hole-drilling by laser (LA-ICSI) dari zona pelucida, transfer sitoplasma dan prosedur transfer nukleus.
Cara lain yang digunakan untuk meningkatkan angka keberhasilan kehamilan adalah dengan cara memperoleh embrio sebanyak mungkin. Sebagian dari embrio tersebut dimasukkan ke dalam rahim dan sebagian lagi dibekukan. Tujuan pembekuan embrio sebenarnya adalah baik, yaitu agar embrio tersebut dapat digunakan kembali buat pasien yang sama di kemudian hari. Akan tetapi, bila tidak digunakan lagi, lalu akan dilakukan apa, dibuang atau untuk riset kedokteran ? atau embrio tersebut dibiarkan rusak ? Di sini mulai timbul masalah, apakah itu masalah etik, moral ataupun masalah hukum. Bagi para praktisi Bayi Tabung, yang terpenting mentransfer sebanyak mungkin embrio demi suatu keberhasilan dan mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar mungkin. Padahal kehamilan multipel merupakan salah satu komplikasi yang berat bagi ibu dan bayi dari dampak pemberian obat-obat pemicu ovulasi tersebut, dan tentu dengan sendirinya akan meningkatkan angka morbi-ditas dan mortalitas.
Apakah teknik-teknik tersebut di atas telah berhasil meningkatkan angka keberhasilan program Bayi Tabung ? Ternyata juga tidak, bahkan teknik - teknik tersebut justeru telah membebani pasutri baik secara fisik, ekonomi dan emosional. Lebih dari 50% mereka yang mengikuti program Bayi Tabung tidak pernah hamil. Masalah emosi merupakan dilema yang sangat penting yang harus diperhatikan, karena mereka telah mengeluarkan biaya yang cukup besar, tetapi hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan. Sebaiknya, kalangan praktisi Bayi Tabung tidak hanya semata-mata memikirkan keberhasilan saja, namun juga harus memikirkan
dampak psikologik dan sosial dari program Bayi Tabung tersebut, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Sosiolog, psikolog, bioetik dan ahli hukum memiliki cara pandang mereka sendiri - sendiri terhadap apa yang dilakukan oleh para praktisi Bayi Tabung terhadap pasutri.

Rumusan Masalah

1.      Apa peraturan Negara yang bersangkutan dengan dilema etik dalam perihal bayi tabung?
2.      Apa saja dilema etik yang terjadi dalam bayi tabung?
3.      Bagaimana peran bidan dalam mengahadapi dilema etik tentang bayi tabung?

Tujuan dan Manfaat

Tujuan:

  1. Makalah ini ditulis untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Mutu Layanan Kebidanan.
  2. Memberikan gambaran tentang dilema etik dengan permasalahan bayi tabung.

Manfaat:

1.      Manfaat dari makalah ini dibuat untuk menambah hasanah keilmuan dan wacana tentang dilemma etik dalam bayi tabung.
2.      Untuk mengetahui hubungan seputar bayi tabung dalam kebidanan.


BAB II

PEMBAHASAN

 

Etik dan Hukum Reproduksi Buatan di Indonesia 


Di Indonesia hukum dan perundangan yang mengatur tentang teknik reproduksi buatan di atur di dalam: 
1.        Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16, yang menyebutkan antara lain: 
1)      Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami-isteri mendapatkan keturunan. 
2)      Upaya kehamilan di luar cara alami sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang sah dengan ketentuan:
a.        Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-isteri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. 
b.       Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 
c.        Pada sarana kesehatan tertentu. 
3)      Ketentuan mengenai persyaratan penyelengaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

2.        Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/ Menkes/ Per/ II/1999 tentang Penyelengaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang: Ketentuan Umum, Perizinan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.

Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut di atas, dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Departemen Kesehatan RI16 yang menyatakan bahwa: 
1)      Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami-isteri yang bersangkutan. 
2)      Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan. 
3)      Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan: 
a)       rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir. 
b)       pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal, atau 
c)       isteri berumur lebih dari 35 tahun. 
4)      Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun. 
5)      Dilarang melakukan jual beli embrio, ova dan spermatozoa. 
6)      Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan dengan sangat jelas. 
7)      Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi. 
8)      Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/ simpan beku). 
9)      Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan embrio, ova dan atau spermatozoa manusia tanpa izin khusus dari siapa sel telur atau spermatozoa itu diperoleh. 
10)  Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila fertilisasi trans-spesies itu diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi trans-spesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.

Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit di dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia Namun di dalam addendum 1, di dalam buku tersebut di atas, tentang penjelasan khusus untuk beberapa pasal dari revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002, dijelaskan tentang klonasi/cloning, sebagai adopsi dari hasil Keputusan Muktamar XXIII IDI 1997, tentang Klonasi (Cloning), yang pada hakekatnya: menolak dilakukan klonasi pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, dstnya; menghimbau para ilmuwan khususnya kedokteran, agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi pada: 1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui al: pembuatan zat anti atau antigen monoclonal, yang dapat digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnostik maupun aspek pengobatan; 2. pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri.


Beberapa dilema dalam program Bayi Tabung

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, salah satu cara yang gampang dilakukan untuk mendapatkan angka keberhasilan kehamilan yang tinggi adalah mentransfer embrio lebih dari satu. Dengan satu embrio, angka kehamilan cuma 17%, dengan dua embrio angka kehamilan menjadi 44%, namun a dari kehamilan tersebut merupakan kehamilan ganda dengan 1,1% triplet, dan mentransfer lebih dari tiga embrio meningkatkan kejadian kehamilan ganda sebanyak 43,7%, dan kehamilan triplet hampir 65%. Pada tahun 1999, data yang dikumpulkan di 22 negara Europa dari 258.460 siklus IVF, diperoleh 26,3% pasien mendapatkan kehamilan ganda, seperti kembar dua, tiga dan empat. Bagi negara - negara maju, mungkin tidak masalah merawat bayi - bayi kecil, namun bagi negara-negara berkembang masih merupakan dilema merawat bayi-bayi kecil, di mana angka mortalitas masih sangat tinggi. Oleh
karena itu perlu kiranya dipikirkan, apakah memang harus mentransfer embrio lebih dari satu, dan kalau memang ya, maka dapat saja kelak berurusan dengan masalah hukum dan etik yang serius.
Andaikata, embrio yang diperoleh jumlahnya banyak, lalu timbul pertanyaan, mau diapakan sisanya ? Jawabannya tentu sederhana sekali, yaitu dibekukan saja. Inilah jawaban yang paling sering disampaikan oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai ahli Bayi Tabung, atau bagi peneliti yang ingin menggunakan embrio untuk keperluan riset. Ternyata jawabannya tidak sesederhana itu bagi ahli hukum, bagi agamawan, maupun bagi sosiolog dan psikolog. Lebih dari separuh embrio yang dibekukan menjadi rusak, dan bila tidak terjadi pembelahan dalam beberapa jam kemudian, maka embrio tersebut dikatakan "clinically dead"
embrio. Inilah yang menjadi alasan bagi peneliti untuk melakuan riset stem cells dari embrio. Penggunaan embrio untuk stem cells sama artinya dengan "membunuh" suatu kehidupan, meskipun penelitian stem cells bertujuan untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik. Namun para peneliti beralasan, bukan mereka yang bersalah merusak/membunuh embrio-embrio tersebut, tetapi adalah mereka yang berpraktek sebagai ahli Bayi Tabung, yang sebenarnya "pembunuh". Perlu diketahui bahwa pengambilan "inner cell mass" dari embrio juga termasuk kategori merusak embrio, paling sedikit itulah yang masih dianut hingga kini. Jadi, menyimpan embrio tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah teknik yang digunakan yang dapat merusak, menggunakannya untuk riset - riset tertentu, atau membuangnya. Dalam seminar tentang teknologi kloning dan pandangan agama islam di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Cendekiawan Muslim M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ilmu dan penelitian haruslah berlapiskan nilai-nilai spiritual, dan tidak dalam posisi saling bertentangan, tetapi justru dapat saling mendukung.
Bagi pasutri, atau siapapun, mendapatkan anak tanpa cacat fisik maupun mental sangatlah penting. Bagi pasutri yang ingin mendapatkan anak tanpa cacat genetik tidak masalah lagi, karena salah satu teknik untuk mengetahui apakah embrio yang akan ditransfer ke dalam rahim memiliki kelainan genetik atau tidak telah dapat diketahui sejak awal dengan menggunakan teknik yang dinamakan preimplantation genetic diagnosis/screening (PGD/PGS). Tentu dengan sendirinya hanya embrio yang tidak memiliki kelainan genetik saja yang akan diberikan kesempatan untuk hidup, sedangkan embrio yang memiliki kelainan genetik tidak diberikan kesempatan untuk hidup, atau barangkali dimusnahkan, atau diberikan kepada peneliti-peneliti untuk mencari obat-obat baru buat mengatasi kelainan genetik yang ditemukan. Bagi mereka yang ingin menolong pasutri mendapatkan anak dengan teknik Bayi Tabung dengan menggunakan cara PGD/PGS mungkin bukan merupakan masalah, namun bagi kelompok masyarakat yang lain teknik tersebut dianggap kurang tepat. Mereka berpendapat, PGD/PGS secara selektif sama saja dengan mengakhiri kehidupan manusia pada saat awal sekali. Kalangan ahli masih belum banyak yang sepakat mengenai kapan sebenarnya kehidupan dimulai. Sebagian agamawan berpendapat bahwa kehidupan telah dimulai begitu gamet perempuan dan laki bertemu (Zygot), sehingga sejak itu pula manusia sudah harus memiliki respek, karena sejak itu pula legal aspeknya telah berlaku. Jadi tentu dengan sendirinya embrio - embrio tersebut tidak boleh dirusak. Agama-agama tertentu, seperti islam misalnya, tetap memberikan kesempatan hidup kepada manusia, meskipun manusia tersebut sakit atau cacat. Oleh karena itu, islam melarang mengakhiri kehidupan manusia sejak dari awal kehidupan dalam bentuk dan alasan apapun. Walupun demikian, PGD/PGS boleh digunakan di
luar penelitian ilmiah dengan lingkup terbatas dan memang dianggap perlu sekali dan selama tidak membahayakan atau merusak embrio. Di pihak lain, karena alasan - alasan medis atau teknik tertentu yang tidak dapat dielakkan untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar, maka dengan memperhatikan aturan-aturan yang berlaku, maka sisa embrio seharusnya boleh digunakan untuk riset stem cells, daripada embrio - embrio tersebut dimusnahkan, namun tidak dibenarkan melakukan intervensi jenis apapun terhadap embrio yang sudah berada dalam rahim, kecuali untuk kepentingan
medis. Sebagian ahli berpendapat bahwa tidak boleh melakukan riset terhadap embrio, karena embrio memiliki status moral yang tinggi. Kalaulah memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh agama, maka terlihat seolah-olah ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Menurut Umar Anggara Jenie, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Ketua Komisi Bioetika Nasional, tidak bisa dikatakan adanya pertentangan antara sains dan agama, dan agama merupakan tuntunan Tuhan
dan sains digali dari ciptaan Tuhan. Memang kalau ada penelitian-penilitian yang sangat baru pada mulanya pasti akan menimbulkan banyak pertentangan, dan hal ini dapat terjadi karena kesalahan interpretasi agama, atau interpretasi yang salah ter-
jadi karena hasil-hasil penelitian tersebut banyak yang keliru. Tentu pada awal penelitian dicetuskan, umumnya para peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk kebaikan manusia, dan di sinilah tugas agamawan untuk menginterpretasi kembali penelitian yang menurut peneliti demi "kebaikan umat manusia", karena mana tahu penelitian tersebut justru berbahaya buat manusia. Dalam melakukan penelitian, para peneliti harus juga mengakui keberadaan Tuhan. Agama pada prinsipnya tidak berniat untuk menghalangi atau menghambat penelitian yang bermanfaat buat umat manusia, namun Agama memberikan aturan main yang jelas agar tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari buat umat manusia itu sendiri.
            Di beberapa Negara di Eropa, tindakan PGD/PGS dibenarkan, namun di beberapa Negara Eropa yang lain masih menjadi bahan perdebatan, bahkan ada yang melarang sama sekali. Mereka yang setuju berpendapat, kenapa tindakan prenatal diagnosis
(PND) berikut terminasi kehamilan dibenarkan secara hukum dan digunakan secara luas. Padahal PGD/PGS dilakukan pada tahap awal sekali, sedangkan PND dilakukan pada tahap lanjut dari embrio (fetus). Mereka yang tidak setuju terhadap PGD/PGS berpendapat, bahwa teknik tersebut dapat disalahgunakan untuk menseleksi gender. Hal ini sudah mulai terlihat banyak dilakukan di negara - negara tertentu, misalnya hanya untuk mendapatkan anak laki saja. Tentu hal seperti ini sangat berbahaya, karena akan dapat merubah tatanan sosial yang sangat dramatik. Dalam pandangan agama islam, hanya Tuhanlah yang berhak menentukan jenis kelamin.
            Biaya untuk mendapatkan anak melalui program Bayi Tabung tidaklah murah, sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat memanfaatkan teknik tersebut. Kalaulah memang angka keberhasilannya tinggi, maka wajarlah kalau pasutri harus mengeluarkan biaya yang mahal. Kalaulah dianggap bahwa, memiliki anak merupakan hak seseorang, maka sudah waktunya teknik Bayi Tabung dimasukkan ke
dalam sistem pelayanan kesehatan publik. Pihak Asuransi Kesehatan menganggap bahwa memiliki anak dengan menggunakan teknik Bayi Tabung merupakan pelayanan yang luksus, sehingga tidak perlu ikut ditanggung. Ada juga yang berpendapat, bahwa infertilitas bukanlah penyakit. Namun kalau infertilitas menyebabkan depresi kronik, apakah itu bukan penyakit ? Kalaulah tindakan Bayi Tabung yang dilakukan tanpa indikasi yang jelas, mungkin boleh saja sistem Asuransi tidak perlu ikut menanggung biayanya. Namun kalau pasien telah mencoba semua cara, tetapi belum juga mendapatkan anak, dan teknik Bayi Tabung merupakan jalan terakhir satu - satunya untuk mendapatkan anak, maka tidak ada salahnya Asuransi Kesehatan ikut membantu. Kalaupun tidak, cara lain yang mungkin bisa ditempuh
adalah, pasien membayar komponen-komponen tertentu dari pengobatan dan asuransi membayar komponen yang lain.
Kelihatannya bagi para praktisi Bayi Tabung yang terpenting adalah bagaimana dapat meningkatkan angka kehamilan, dan bila telah berhasil, maka apa yang terjadi pascatindakan Bayi Tabung tersebut terhadap ibu dan anak sudah tidak menjadi penting lagi. Telah dilakukan pengumpulan data dari pusat-pusat Bayi Tabung seluruh dunia terhadap dampak pascatindakan Bayi Tabung terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan dari hasil teknik Bayi Tabung. Dari laporan tersebut ternyata telah ditemukan adanya ibu-ibu yang terkena kanker payudara dan kanker ovarium, yang kemungkinan besar diakibatkan oleh penggunaan obat-obat pemicu ovulasi dosis tinggi, bahkan bayi yang dilahirkan juga banyak yang terkena kanker (retinoblastoma), dan dampak negatif tersebut baru terlihat beberapa tahun setelah tindakan. Tentu, hasil laporan ini telah menimbulkan kontroversi yang luas, sehingga perlu kehati-hatian untuk dapat mengambil kesimpulan yang pasti. Walaupun demikian, rasa keragu - raguan tetap saja ada di kalangan ilmuwan, sehingga mulai dipikirkan cara lain yang relatif aman.
Dewasa ini mulai dikembangkan satu cara baru dalam rangka untuk dapat menurunkan dosis obat - obat pemicu ovulasi. Cara tersebut bukan lagi memakai teknik in vitro fertilisasi, namun memakai teknik yang dinamakan in vitro maturasi (IVM). Karena IVM masih merupakan teknik yang sangat baru sekali, maka laporan tentang keberhasilannya pun masih sedikit.
Para sosiolog maupun psikolog kurang begitu tertarik terhadap komplikasi dari suatu tindakan, seperti halnya tindakan menggunakan teknik Bayi Tabung dengan alat-alat yang canggih untuk mendapatkan anak. Masalah tersebut biarlah menjadiurusan para praktisi Bayi Tabung dah ahli hukum, namun buat mereka lebih tertarik dampak dari sukses atau tidak suksesnya tindakan menggunakan teknik Bayi Tabung itu sendiri, dan terhadap masa depan dari bayi yang dilahirkan. Apakah ada dampak dari penggunaan alat-alat canggih tersebut di kemudian hari terhadap keturunan umat manusia ? Apapun dampak yang timbul terhadap anak maupun keluarga yang dilahirkan dari teknik Bayi Tabung di masa depan, bagi sosiolog/filosof, akan dapat dianggap sebagai tindakan yang salah. Bagai-
mana sudut pandang dari segi bioetik maupun dari segi hukum ? Mereka tentu tidak ingin menghalangi ataupun menghambat kemajuan suatu ilmu pengetahuan. Bioetik hanya ingin agar para ilmuwan mau memperhatikan rambu-rambu yang berlaku secara universal, agar tidak terjadi manipulasi terhadap ilmu itu sendiri. Demikian juga terhadap teknik Bayi Tabung, bioetik dan hukum lebih tertarik terhadap dampak moral dan status hukum dari "bentuk suatu kehidupan" yang diperoleh dari suatu proses artifsial. Ahli hukum dan bioetik sangat kuatir dengan yang dinamakan "wisata reproduksi" dan menjadikan ovum sebagai bahan komoditas.
Program Bayi Tabung beserta segala alat-alat canggih yang digunakan tentu bertujuan baik buat manusia, namun agar tujuan baik tersebut tidak menyimpang dari tujuannya, maka bagi para praktisi Bayi Tabung jangan semata-mata memikirkan hanya keberhasilannya saja. Perlu juga dipikirkan dampak terhadap bayi-bayi yang dilahirkan dari hasil teknik Bayi Tabung tersebut, karena biar bagaimanapun mereka adalah generasi masa depan yang akan membentuk generasi baru di kemudian hari. Juga perlu dipikirkan apakah memang perlu sekali menghasilkan embrio yang banyak, dan kemudianapa yang harus dilakukan terhadap sisa embrio yang tidak digunakan tersebut, dan bila hendak disimpan atau dibekukan, berapa lama boleh dibekukan dan apakah embrio tersebut tidak rusak akibat pembekuan. Belum lagi, apakah embrio-embrio tersebut boleh digunakan buat penelitian atau tidak. Kerjasama dengan disiplin ilmu lain sangatlah perlu. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga perlu dibuat aturan yang sesuai buat negara tersebut, bila tidak dibuat, maka niat yang tadinya baik, ditakutkan akan berubah menjadi malapetaka buat umat manusia. Apalagi kalau sampai embrio-embrio akan digunakan sebagai bahan penelitian tanpa memiliki aturan yang jelas. Keberadaan klinik Bayi Tabung sudah seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, dan kalaulah satu klinik dengan klinik lainnya aturannya berbeda - beda, maka apa yang dikatakan sebagai "wisata reproduksi" akan terjadi. Pasti para pasutri akan mencari klinik-klinik Bayi Tabung yang belum ada aturannya yang jelas. Yang paling berbahaya dari "wisata reproduksi" adalah bahwa orang-orang akan dengan sangat mudah sekali menjual telurnya buat orang lain, atau menjualnya buat penelitian, dan kegiatan ini disinyalir telah banyak dilakukan di beberapa negara. Bahkan di beberapa negara para ilmuwan telah mendapat izin untuk mengimpor telur untuk keperluan riset.
Ilmuwan tidak boleh melupakan agama dan agama harus menjadi referensi, dan bila hal tersebut tidak diperhatikan, maka embrio akan dengan mudah dijadikan bahan komoditas, dan para ilmuwan akan membuat apa saja yang mereka mau dan "wisata reproduksi" akan menjadi kenyataan.


BAB III

PENUTUP


Kesimpulan


Teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF ) sudah menjadi penolong untuk pasangan suami istri yang ingin mendapatkan anak. Sudah banyak teknik canggih yang digunakan agar mendapatkan angka kehamilan yang tinggi Namun ternyata, meskipun sudah menggunakan semua teknik, angka kehamilan belum juga tercapai sesuai yang diharapkan. Bahkan teknik - teknik tersebut menimbulkan dilema etik, moral, sosial, hukum, dan psikologi. Di dalam melakukan penelitian pun juga harus memperhatikan apa yang diatur oleh Tuhan. Agama sangat menjunjung teknologi, asalkan teknologi tersebut tidak dipergunakan untuk keperluan lain, melainkan hanya untuk kepentingan umat manusia.
Perlu diketahui bahwa teknik bayi tabung serta rangkaian teknologi yang digunakan merupakan subjek yang sangat penting secara etik dan memang tidak mudak untuk mendapatkan solusi yang final.




DAFTAR PUSTAKA


Jurnal Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan, F A Moeloek bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta


Fertilisasi in vitro ( Bayi Tabung ) : Dilema kemajuan yang tak kunjung usai, A. Baziad Departtemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASALAH ETIK DAN PENYELESAIANNYA DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEBIDANAN TERKAIT KASUS "ABORSI" YANG ADA DI INDONESIA

MAKALAH MASALAH ETIK DAN PENYELESAIANNYA DALAM PENINGKATAN  MUTU PELAYANAN KEBIDANAN TERKAIT KASUS ABORSI YANG ADA DI INDONESIA Mata Kuliah : Mutu Layanan Kebidanan Kebijakan Kesehatan DOSEN PENGAMPU Rizka Ayu Setyani, SST M.PH DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 8                   1.       Srigita Dewiyana H. (16140074)                   2.       Septi Ratnasari         (16140043)                   3.       Efriyanti                   (16140116)                   4.       Kusnul Khotimah     (16140107) Kelas B 1 3 1 SEMESTER GANJIL/III PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2017/2018 KATA PENGANTAR             Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah yang berjudul ABORSI ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan

MAKALAH SKRINING HIV

TUGAS  MUTU PELAYANAN KEBIDANAN SKIRING HIV Dosen pengampu : Rizka Ayu Setyani , SST.MPH   Disusun Oleh: Kelompok 9 : Ni  luh eka  f ebriyanti ( 161400 52 ) siziz nahdiatus sholikha h ( 16140044 ) Astri dian febriani ( 16140931 ) Febiana Laluur ​ ( 16140004 ) UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN TAHUN 2016/2017 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas tuntunan dan penyertaannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berisi tentang “ teori skrining HIV ”. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Riska Ayu Setyani, SST.MPH, selaku dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada kami, guna menambah wawasan kami 2. Orang Tua dan saudara-saudari semua yang telah mendukung kami 3. Teman-teman, dan rekan semua yang telah memberikan semangat kepada kami    4. Dan semua pihak yang telah memberikan dukung